Home / DAERAH / Kadiv Propam Sudah Ingatkan: Anggota yang Buat Gaduh dan Cemarkan Citra Polri Siap Di-PTDH!

Kadiv Propam Sudah Ingatkan: Anggota yang Buat Gaduh dan Cemarkan Citra Polri Siap Di-PTDH!

Bengkulu —Kasus SP3 pencurian tandan buah segar (TBS) di Kebun Masyarakat Desa (KMD) Ujung Padang memasuki babak yang kian menekan. Kuasa hukum pelapor menyatakan surat pengaduan resmi kini telah sampai di meja Kadiv Propam Polda Bengkulu dan akan segera ditindaklanjuti — kabar yang membuat sejumlah pengamat menilai peluang penyidik Satreskrim Polres Mukomuko lolos dari sanksi berat seperti Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) makin kecil.

Langkah Propam yang menindaklanjuti laporan publik ini datang di saat pesan-peringatan dari pucuk pimpinan Polri terhadap anggota dan para Kapolda semakin sering diulang — hal yang menambah tekanan moral dan administratif bagi penyidik yang kini terlapor.

Kapolri beberapa kali menegaskan bahwa para Kapolda harus bisa mengembalikan dan menjaga kepercayaan publik; mereka yang gagal meredam kekisruhan atau gagal mengendalikan prilaku anggota akan menghadapi evaluasi dan pembinaan ketat. Pernyataan tegas semacam ini sudah disampaikan Kapolri kepada para Kapolda saat pengarahan dan sertijab, sebagai bentuk pengawasan atas kinerja daerah.

Kadiv Propam Polri juga kerap tampil tegas menindak anggota yang dinilai melanggar kode etik atau menyebabkan kegaduhan di publik — termasuk kasus-kasus yang melibatkan personel Brimob dan unit lain yang berujung pemeriksaan internal. Pernyataan Kadiv Propam tentang penegakan etik dan pentingnya akuntabilitas menegaskan bahwa laporan masyarakat terhadap prilaku anggota bukan perkara ringan bagi institusi.

Jajaran Bareskrim dan Kabareskrim juga kerap mengingatkan agar penanganan perkara dijalankan profesional, netral, dan tidak memunculkan kegaduhan publik yang bisa merusak kepercayaan. Pernyataan pejabat pimpinan reserse menggarisbawahi pentingnya standard penyidikan yang kuat—sebuah konteks yang memberatkan ketika hasil penyidikan di tingkat Polres dipertanyakan.

Argumen tekanan terhadap penyidik bukan sekadar retorika. Sejumlah kasus di berbagai daerah menunjukkan bahwa anggota Polri yang terbukti melanggar etik atau melakukan penyalahgunaan wewenang berujung pada PTDH. Kasus berprofil tinggi termasuk sanksi terhadap oknum-oknum yang terlibat pemerasan, pelanggaran disiplin berat, atau tindakan lain yang merusak citra institusi — menjadi bukti bahwa Propam dan mekanisme etik internal bisa berakibat fatal bagi pelaku. Sebagai contoh, beberapa anggota yang terlibat kasus pemerasan atau pelanggaran berat berakhir diberhentikan tidak dengan hormat.

Pengamat hukum dan mantan pejabat reserse yang kami hubungi menyebutkan beberapa poin yang membuat kemungkinan lolosnya penyidik dari sanksi berat menjadi kecil, antara lain:

1. Dasar SP3 yang Rapuh: Bila keputusan penghentian penyidikan didasarkan pada satu keterangan ahli saja, sementara bukti-bukti materiil (nota timbang, bukti panen, keterangan puluhan saksi, bukti peredaran TBS/penadah) kuat, maka SP3 mudah dibantah di praperadilan. Praperadilan bisa memaksa pembukaan kembali penyidikan — dan itu memberi dasar bagi pemeriksaan etik. (lihat kajian prosedur SP3 / praperadilan).

2. Tekanan Publik & Transparansi Propam: Laporan resmi yang sampai di meja Kadiv Propam menempatkan perkara ini dalam pengawasan khusus; Propam cenderung menindak kasus yang memicu keresahan sosial agar tidak mencederai citra Polri. Pernyataan Kadiv Propam dalam kasus-kasus lain memperlihatkan kecenderungan itu.

3. Preseden Sanksi: Sejarah PTDH terhadap anggota yang melampaui wewenang atau menyalahgunakan wewenang memberi preseden nyata: bila ditemukan bukti pelanggaran etik/prosedur, sanksi administrasi berat sangat mungkin dijatuhkan. Hal ini memperkecil peluang penyidik untuk ‘lewat’ tanpa konsekuensi.

Kuasa hukum pelapor dan tokoh masyarakat menegaskan akan mengawal proses Propam hingga tuntas, termasuk menyiapkan bukti tambahan bila diperlukan. Mereka mendesak Kapolda Bengkulu dan Kadiv Propam untuk bertindak transparan dan cepat, supaya publik dapat melihat langkah korektif yang tegas — baik itu berupa pembukaan kembali berkas perkara, pengkinian penyidikan oleh Ditreskrimum Polda, atau tindakan etik terhadap penyidik yang lalai.

“Jika Propam menemukan maladministrasi atau penyalahgunaan diskresi, kami berharap sanksi tegas dijatuhkan. Publik tidak akan menerima sekadar klarifikasi administratif,” kata salah satu pengacara pelapor.

Kasus SP3 KMD Ujung Padang kini bukan hanya soal sebuah keputusan administratif di Polres. Ia telah berubah menjadi tes integritas bagi mekanisme pengawasan internal Polri dan keseriusan pimpinan dalam menjaga kredibilitas institusi. Dengan surat pengaduan sudah di meja Kadiv Propam Polda Bengkulu dan jejak preseden sanksi PTDH yang nyata, bayangan konsekuensi berat kini menghantui penyidik yang menandatangani SP3 bermasalah tersebut. (Red)