Mukomuko — Gaya Ketua DPD RI, Najamudin, yang menelpon sejumlah menteri secara langsung di depan publik saat berkunjung ke Mukomuko terus menuai gelombang kritik.
Lembaga Pengawasan dan Kebijakan Publik (LP-KPK) menilai gaya komunikasi semacam itu bisa menimbulkan persepsi keliru dan menyerupai pola “jual nama pejabat pusat” yang kerap digunakan dalam berbagai kasus penipuan proyek di masa lalu.
“Publik jangan dibuat bingung dengan gaya-gaya pencitraan seperti itu. Kalau memang serius memperjuangkan aspirasi daerah, buktikan dengan hasil konkret, bukan sekadar telepon menteri di depan kamera,” ujar perwakilan LP-KPK dalam pernyataannya.
LP-KPK mengingatkan bahwa dalam sejumlah kasus hukum, modus serupa — yakni mengaku dekat dengan pejabat pusat dan menjanjikan proyek atau bantuan — sering digunakan oleh pelaku penipuan.
Salah satu contohnya terjadi pada tahun 2021 di Jakarta, ketika seorang pria berinisial HS mengaku sebagai staf Kementerian PUPR dan menipu beberapa kontraktor daerah dengan janji proyek fiktif senilai miliaran rupiah. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kala itu menjatuhkan vonis 4 tahun penjara kepada HS karena terbukti melanggar Pasal 378 KUHP tentang penipuan dengan modus mengatasnamakan pejabat.
“Kasus seperti itu seharusnya menjadi pelajaran bagi semua pejabat publik agar tidak bermain-main dengan nama kementerian atau janji di depan publik. Jika ternyata omongan itu tidak benar atau menimbulkan kerugian, bisa masuk ranah pidana,” tambah LP-KPK.
Lembaga tersebut juga menegaskan akan melaporkan tindakan Najamudin ke aparat penegak hukum jika terbukti pernyataannya kepada publik tidak sesuai kenyataan atau menyesatkan.
Menurut pakar hukum pidana, pejabat publik yang memberikan harapan palsu kepada masyarakat dapat dijerat dengan Pasal 372 atau 378 KUHP tentang penipuan atau penggelapan kepercayaan, apabila pernyataan itu menimbulkan kerugian atau dimaksudkan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Selain itu, Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juga menyebutkan bahwa menyebarkan berita bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat dapat diancam hukuman hingga 10 tahun penjara.
“Kalau sampai janji-janji atau klaim telepon menteri itu ternyata tidak benar, dan menimbulkan kebohongan publik, itu bisa jadi persoalan serius secara etik maupun pidana,” tegas LP-KPK menutup pernyataannya.






