Mukomuko — Aroma ketidakprofesionalan dalam penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus pencurian hasil kebun masyarakat (KMD) Ujung Padang kian menyengat. Surat pengaduan resmi pelapor telah dikonfirmasi oleh pihak Propam Polda Bengkulu dan kini disebut sudah berada di meja Kadiv Propam Polda Bengkulu untuk ditindaklanjuti.
Langkah masyarakat ini dianggap sebagai bentuk perlawanan atas lemahnya penegakan keadilan di tingkat Polres. Kuasa hukum pelapor menilai, keputusan SP3 yang diterbitkan oleh penyidik Polres Mukomuko bukan sekadar kelalaian, melainkan bentuk pelanggaran serius terhadap prinsip penyidikan yang objektif dan transparan.
“Jika Kapolda Bengkulu tidak segera turun tangan, maka kasus ini bisa menjadi titik gelap bagi reputasi Polres Mukomuko di mata publik,” ujar Dr. F. Ramadhan, pengamat hukum kepolisian, menegaskan.
“Diamnya pimpinan adalah bentuk pembiaran,” tambahnya.
Pernyataan ini sejalan dengan pesan tegas Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang dalam beberapa kesempatan mengingatkan seluruh jajaran agar menjaga marwah dan kepercayaan publik terhadap institusi Polri.
“Terkait dengan masalah kepercayaan publik, ini juga tentunya menjadi hal yang terus kita perhatikan,” ujar Kapolri dalam konferensi persnya di Jakarta (31 Januari 2025).
“Jangan ada lagi tindakan atau kebijakan yang membuat masyarakat resah.”
Nada tegas juga datang dari Kadiv Propam Polri Irjen Abdul Karim, yang sebelumnya menegaskan komitmennya dalam menindak anggota yang mencoreng nama baik korps.
“Setiap pelanggaran kode etik yang terbukti akan kami tindak tegas. Tidak ada kompromi,” ujarnya dalam keterangannya di Mabes Polri, Agustus 2025.
Kuasa hukum pelapor menyebutkan, isi surat keputusan SP3 Polres Mukomuko sangat rapuh dan mudah digugat secara hukum.
“Dalam SP3 itu, tidak ditemukan pertimbangan hukum yang kokoh. Semua bukti dan keterangan saksi dikesampingkan hanya karena satu pendapat saksi ahli. Ini fatal dan tidak sesuai KUHAP maupun asas penyidikan yang berimbang,” ujarnya.
Menurut pengamat kepolisian, bila dalam proses pemeriksaan Propam terbukti ada unsur kelalaian serius atau penyalahgunaan diskresi, maka sanksi PTDH (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat) bukanlah hal yang berlebihan.
Kasus serupa juga pernah terjadi sebelumnya di Kutai Timur (2021), di mana seorang penyidik SP3 kasus penggelapan akhirnya dijatuhi PTDH oleh Komisi Kode Etik Polri (KKEP) setelah dinilai menyalahgunakan kewenangan penyidikan.
Kini, publik menanti langkah cepat Kapolda Bengkulu untuk memastikan kasus ini tidak menambah daftar panjang keluhan masyarakat terhadap kinerja Polres Mukomuko.
Karena, sebagaimana peringatan Kapolri:
“Kita tidak bisa lagi bekerja setengah hati. Satu kesalahan anggota bisa merusak kepercayaan masyarakat kepada seluruh institusi Polri.” (Red)






