Mukomuko – Trendfokus.Masyarakat Desa Ujung Padang, Kecamatan Kota Mukomuko, resmi melayangkan surat keberatan kepada Badan Musyawarah Adat (BMA) Kabupaten Mukomuko pada Sabtu (5/10/2025).
Langkah ini diambil setelah sembilan warga dari Kaum Seandeko dijatuhi sanksi adat sepihak oleh oknum lembaga adat Saindeko, yang dinilai tidak prosedural, tidak melalui musyawarah adat, dan menyalahi tata nilai serta aturan yang berlaku.
Dalam surat keberatan bernomor 022/UJPD-MSK/2025, masyarakat menyatakan bahwa keputusan sanksi tersebut tidak hanya mencederai marwah adat, tetapi juga telah menimbulkan tekanan terhadap Kepala Desa Ujung Padang, karena oknum lembaga adat tersebut melarang penerbitan Surat NA dan administrasi desa lainnya bagi warga yang disanksi.
“Adat tidak boleh dijadikan alat tekanan. Kalau keputusan diambil tanpa musyawarah dan malah mengintervensi pemerintahan desa, itu bukan adat, itu pelanggaran moral,” tegas salah satu tokoh masyarakat Ujung Padang Priyurn, Minggu (5/10/2025).
Berdasarkan penelusuran redaksi, keputusan sanksi yang dikeluarkan oleh oknum lembaga adat Saindeko tersebut tidak melalui mekanisme resmi sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Mukomuko Nomor 4 Tahun 2019 tentang Lembaga Adat Mukomuko.
Dalam peraturan itu disebutkan bahwa setiap keputusan lembaga adat harus:
1. Dilaksanakan melalui musyawarah mufakat,
2. Tidak boleh bertentangan dengan hukum positif, dan
3. Dikoordinasikan kepada BMA Kabupaten untuk mendapatkan pengesahan sebelum diberlakukan.
Namun, dalam kasus ini, tidak ada koordinasi ataupun pengesahan dari BMA Mukomuko, sehingga keputusan tersebut tidak memiliki kekuatan adat yang sah.
“Ini bentuk penyimpangan. Keputusan adat harus disahkan oleh BMA agar sah. Kalau tidak, maka keputusan itu batal demi hukum adat,” ujar seorang tokoh adat senior di Mukomuko yang dimintai tanggapan terpisah.
Masyarakat menduga, sanksi adat yang dijatuhkan terhadap sembilan warga tersebut memiliki motif balas dendam dan kepentingan pribadi.
Pasalnya, oknum kepala kaum yang terlibat dalam penerbitan sanksi itu tengah dilaporkan ke aparat penegak hukum atas dugaan penyalahgunaan jabatan dan penggelapan KMD milik warga.
“Ironis sekali, yang sedang dilaporkan justru menjatuhkan sanksi kepada pelapor. Ini bukan penegakan adat, tapi bentuk penyalahgunaan kekuasaan adat,” tegas salah seorang warga ujung padang Heru yang menjadi korban sanksi.
BMA Diminta Tegas: Evaluasi Oknum Penghulu yang Menyimpang
Dalam surat yang ditembuskan ke Bupati Mukomuko, Camat Kota Mukomuko, dan Inspektorat Kabupaten, warga mendesak agar BMA Kabupaten Mukomuko segera turun tangan melakukan klarifikasi dan evaluasi terhadap lembaga adat Saindeko.
“Kami minta BMA menegur keras oknum penghulu adat yang mencoreng marwah adat. Adat harusnya menjaga keseimbangan, bukan dijadikan alat kekuasaan,” tulis isi surat tersebut.
Warga juga menegaskan agar BMA mengingatkan batas wewenang antara lembaga adat dan pemerintah desa, karena dalam kasus ini sudah jelas terjadi intervensi terhadap kewenangan Kepala Desa, terutama terkait penerbitan surat administrasi publik.
Ahli Hukum Adat: Kepala Desa Tidak Boleh Tunduk pada Tekanan Adat yang Menyimpang
Pakar hukum adat Bengkulu, Dr. (disamarkan), menyebut tindakan melarang kepala desa menerbitkan surat resmi bagi warganya merupakan pelanggaran hukum dan sumpah jabatan.
“Kepala desa adalah pejabat pemerintahan yang dilantik oleh Bupati. Ia tidak berada di bawah perintah kepala kaum atau lembaga adat. Jika ia tunduk pada tekanan luar, apalagi yang melanggar hukum, maka bisa dikenai sanksi administratif hingga pemberhentian,” jelasnya.
Ia mengutip Pasal 26 ayat (4) dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menyebut kepala desa dapat diberhentikan apabila melanggar sumpah jabatan atau tidak menjalankan kewajiban pemerintahan sesuai ketentuan perundang-undangan.
Tokoh adat Mukomuko, yang tidak ingin sebutkan namanya, menilai bahwa tindakan sepihak lembaga adat Saindeko telah melenceng dari semangat adat Melayu yang sejati.
“Adat yang benar tidak menghukum tanpa musyawarah. Adat harus menyejukkan, bukan menindas. Kalau sudah ada kepentingan pribadi, itu bukan lagi adat, itu penyimpangan,” ujarnya.
Datuk Rajo juga mengingatkan agar BMA Kabupaten Mukomuko menegakkan kembali marwah adat agar masyarakat tidak kehilangan kepercayaan terhadap lembaga adat itu sendiri.
Masyarakat Ujung Padang menegaskan bahwa adat dan pemerintahan desa harus berjalan beriringan, bukan saling menekan.
Kepala Desa memiliki tanggung jawab menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum negara, sementara lembaga adat berfungsi menjaga nilai moral dan budaya masyarakat.
“Adat menjaga moral, pemerintah menjaga hukum. Keduanya harus seimbang. Jangan sampai adat dipakai untuk menekan pemerintahan atau membungkam warga yang mencari keadilan,” tutup pernyataan masyarakat dalam suratnya. (Red)






