TRENDFOKUS.COM-Dalam pembukaan dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit, sering kali dijumpai konflik yang terjadi antara pelaku usaha dengan masyarakat setempat atau antar perusahaan lain. Semenjak awal, upaya antisipasi perlu dilakukan supaya menghindari dampak kerugian konflik yang mesti ditanggung pelaku usaha.
Tudingan bahwa perkebunan kelapa sawit menjadi pemicu konflik perlu menjadi perhatian serius pemangku kepentingan sawit di negeri ini, karena semenjak beberapa tahun terakhir kasus konflik perkebunan kian meningkat seiring dengan perluasan lahan kelapa sawit. Edy Mashury, ketua ikatan petani sawit mandiri provinsi Bengkulu mengatakan konflik yang terjadi di perkebunan lebih banyak berkaitan dengan masalah lahan.
Edy Mashury Menyampaikan Bahwa Perpanjangan HGU PT Agro ini perlu ditinjau ulang dimana Perpanjangan izin HGU Agromuko dan izin replanting bisa terbit padahal PT Agro tidak memenuhi 20% plasma.
“Tanpa plasma konflik di kemudian hari akan semakin tajam karena ketimpangan ekonomi, semakin meningkat” Sampai Edy.
Menurut ketua ikatan petani sawit mandiri provinsi Bengkulu, Edy Mashury, terdapat beberapa cara pemecahan masalah ini.
Pertama. Perusahaan bersedia memperlihatkan peta sesuai SK HGU. Dokumen HGU berupa: nama pemegang HGU, tempat/lokasi, luas areal HGU yang diberikan, dan peta areal HGU yang dilengkapi titik koordinat, merupakan informasi publik. Sehingga bersama tim ahli bisa di tentukan lahan tersebut milik siapa.
Kedua Perusahaan merangkul petani. Hindari aksi penangkapan berdasar informasi sepihak, karena hal ini sudah merupakan “bullying”.
Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan mewajibkan setiap perusahaan perkebunan memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan, seperti diatur dalam Pasal 58, Pasal 59 dan Pasal 60. Pembangunan kebun sawit bagi masyarakat sebagaimana dimaksud dapat dilakukan melalui pola kredit, bagi hasil, atau bentuk pendanaan lain yang disepakati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun tersebut harus dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Hak Guna Usaha diberikan dan harus dilaporkan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
Ketiga Pemerintah giat melakukan penegakkan hukum (law enforcement). Jika memang terbukti perusahaan merambah kawasan hutan negara dan atau berkebun di luar HGU maka pihak perusahaan dapat di kenakan UU 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Atau UU cipta kerja dimana disebut dengan istilah “keterlanjuran”. Masalahnya sampai saat ini belum ada turunan dari UU tersebut dalam menyelesaikan keterlanjuran dimaksud.
Keempat Jika pemerintah lamban dalam menyelesaikan masalah perambahan ini, maka penggiat konservasi boleh melaporkan hal ini kepada RSPO Secretariat di Kuala Lumpur Malaysia atau Regional Representative Office of RSPO Secretariat Sdn. Bhd. Di jakarta. Sertifikat RSPO PT Agromuko bisa saja di tinjau ulang atau di cabut. Imbas dari hal ini adalah perusahaan akan kehilangan US$ 50/metrik ton CPO yang mereka hasilkan.